Senin, 16 Januari 2012

Bukanlah Aku: Keberangkatan

Dibalik senyumnya yang misterius itu aku tak yakin bahwa dia tidak merencanakan sesuatu. Malik memang orang yang tidak dapat ditebak, tubuh kecilnya dan pemikiran yang orang lain tak dapat mengerti.
Waktu sudah menunjukan pukul 8 malam.Aku hanya duduk melihat pemandangan di luar kaca bus yang kunaiki dan sesekali melanjutkan game yang tengah kumainkan. Kami tengah menuju bandara untuk mengantar teman-teman kami yang akan berangkat ke Jerman untuk melanjutkan studinya, mereka adalah Lia, Ami, Pram, Ardi, Fikar, Aryo, Aman, Ahmad, Syifa dan Yanov. Bus yang kami tumpangi amat gaduh. Anak-anak yang tak mau diam bolk-balik berjalan di bus sepanjang jalan, para orang tua yang terus mengobrol dan sesekali mengeluarkan lelucon yang membuat seisi bus tertawa, sampai tangisan bayi yang rewel dipangkuan ibunya. Serasa hidup suasana ini.
“Bray, mau gak?” tanya Anjar yang duduk disebelahku sambil menawarkan sebungkus kacang garing.
“Oh engga om, ntar aja, ni lagi tanggung lawan pitboss” kataku sembari melanjutkan permainan game di laptopku.
Setelah aku menyelesaikan permainan itu, aku memilih untuk tidur, karena perjalanan masih panjang, namun alangkah sulitnya bagiku untuk tidur, dalam suasana yang seperti ini yang dapat kulakukan hanyalah melihat pemandangan sekitar saja. Teringat aku membawa buku, aku memutuskan untuk membacanya, cukup tebal, tersampul rapi dengan cover berwarna merah. Kupikir hal ini pasti menyenangkan, kubaca buku tersebut kira-kira baru 13 halaman, Tiba-tiba aku merasakan hembusan angin kuat disertai suara keras yang mengejutkan. Aku terperanjat ketika mengetahui bahwa pintu bus bagian belakang terbuka.
“Stop! Stop! Hentikan busnya!” teriak salah satu penumpang dibelakang.
Namun sang sopir sepertinya tidak dapat menghentikan laju bus dalam kondisi ngebut dan lalu lintas yang padat ini, untunglah ada yang berinisiatif untuk menutupnya kembali, untung saja sedang tidak ada yang berada didekat pintu saat kejadian tersebut.
Sesampainya di bandara, waktu menunjukan pukul 9 malam. Ku cek ponselku, ada sms masuk, rupanya dari Ida, kubalas secukupnya. Selain aku dan Anjar, ada juga Nia yang ikut mengantar, sepertinya dia cukup sedih, karena pasti akan amat lama tidak bertemu dengan teman-teman yang akan berangkat.
“Oke semuanya, silakan baris dulu disini, difoto dulu” ujar Bu Nur dan Pak Imam
Dari kanan barisan, kulihat Lia tengah dinasihati oleh orang tuanya, Ardi yang tampak termenung, semua masih bisa tertawa, namun ada kesedihan yang terpancar dari mata mereka. Kesedihan meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama.
Sayang, momen ini hanya bisa disaksikan oleh aku dan Anjar saja, Yani, Taufan, Yadi, Merry, Ramdan dan beberapa temanku yang kuajak ternyata tidak bisa datang.
Tapi aku mendengar kabar bahwa Zul, Yanto dan Jaya akan datang bersama yang lain, semoga saja, karena ini mungkin pertemuan teakhir mereka dengan Pram.
Kami mendapat kabar bahwa pesawat menuju jerman akan berangkat sekitar setengah jam lagi. Aku dan Anjar memutuskan untuk mencari makanan, karena dari tadi sore kami hanya menyantap singkong keju saja.
Setelah berkeliling mencari gtempat makan yang enak, rupanya tempat makan yang biasa kami kunjungi sudah tutup, karena lapar, terpaksa kami makan di salah satu warteg Internasional yang ada di sana.
Segera anjar memesan makanan, sedangkan aku yang melihat harga makanan dan kondisi keuangan yang pas-pasan memilih untuk tidak memesan. Aku hanya meminta beberapa teguk minuman yang dipesan Anjar. Memanfaatkan jaringan yang ada di sana aku iseng-iseng Ol dan menemukan Yani dan Yadi online juga, kusapa mereka dan menceritakan keadaan di bandara ini, mereka pun hanya bisa nitip salam, walau Sebenarnya kediaman mereka tidak jauh disini.Yani katanya tidak diperbolehkan keluar malam, Yadi masih sibuk dengan kuliahnya.
Keasyikan online aku pun tidak memperhatikan jam, ternyata sesuai jadwal pesawat akan berangkat sekitar 2 menit lagi, soantak aku dan Anjar terburu-buru menuju gate dimana mereka akan berangkat. Karena lari-lari, Anjar yang baru saja makan merasa perutnya seperti terkocok-kocok dan merasa mual, tapi apa boleh buat.
Setelah melewati menit-menit yang mengerikan, kami terperangah, rupanya mereka belum berangkat, dan sialnya ternyata pesawat itu akan berangkat setengah jam lagi. Aku merasa kasihan dengan Anjar, tahu akan seperti ini kami tadi tidak usah berlari.
Kulihat sekeliling, rupanya rombongan Zul sudah datang, mereka terlihat sedang ngobrol dengan Pram, sebuah reuni.
Tiba waktunya mereka berangkat, saat terakhir mereka di tanah air, aku berpesan pada mereka untuk terus maju,aku tidak mau mereka kosong saat kembali lagi ke negara ini, satu persatu aku ucapkan kata-kata terakhirku pada mereka. Slaam sukses kawanku semua, tanggung jawab besar menantimu.
Mereka malaimbaikan tangan salam perpisahan, sampai tak terlihat lagi dari pandangan.
Saatnya kembali, aku memutuskan untuk kembali ke kota Parahyangan, awalnya aku berniat memakai travel agent yang ada, namun begitu mendengar bus yang kutumpangi menuju kota itu juga, aku memilih naik bus.
5 jam lebih perjalanan kulalui, amat terasa, badanku pegal dan sedikit kedinginan, aku kembali ke kamar kos ku, tertidur, sampai Sms dari Rose dan Engkus mengejutkanku... (bersambung)
Dengan ide briliannya Malik akhirnya memberiku saran yang logis.
Based on true story, By M Alif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bijaklah dalam berkomentar, kritik yang membangun saya terimaaaa sekali..